BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
Dasar Budaya
2.1.1 Konsep
Konsep
merupakan ide, gagasan, atau pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar (pembawa
arti). Pada dasarnya konsep masih berwujud abstrak atu hanya angan-angan saja.
Jadi,
konsep dalam budaya dapat dideskripsikan sebagai suatu pemikiran dan ide yang
berisikan mengenai komponen-komponen pembentuk kebudayaan suatu masyarakat.
2.1.2
Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
bahasa
latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Tony Bennet (1980), kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat (1991), budaya merupakan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya, rasa, dan cipta manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
Jadi,
budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal
balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala
hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang
psikologis, idiil, dan spiritual.
2.1.3 Ciri-ciri Budaya
Kebudayaan
mempunyai beberapa ciri, diantaranya :
a.
Kebudayaan diperoleh dari belajar
Kebudayaan yang
dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan
secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan
untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan
perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru
dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen
insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan,
tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan
adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana
kebutuhan itu dipenuhi, apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian
dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari
kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara
yang berbeda.
b.
Kebudayaan milik bersama
Agar dapat dikatakan
sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki
bersama oleh suatu kelompok manusia serta para warganya memiliki secara bersama
sejumlah pola-pola berpikir dan berprilaku yang sama.
c. Kebudayaan sebagai pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para
anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini
cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola
kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari
masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam
keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan
norma-norma. Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam
kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama
sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu
mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan
ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari
pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku
sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang
dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri
biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini
terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara
berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang
atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam dua jenis yaitu :
-
Pembatasan kebudayaan
yang langsung, terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan
dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang
dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan
yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap
tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal
yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku
dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang
berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika seseorang
melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam tempat ibadah.
Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini.
Kalau individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke tempat
peribadatan, mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan
tetapi bila individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya mengenakan
pakaian dalam untuk ke tempat ibadah, dia mungkin akan di tangkap oleh
pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
-
Dalam
pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang
melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan
tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan
yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka.
Contohnya ; tidak akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Pringsewu,
Lampung untuk berbelanja dengan menggunakan bahasa Arab, akan tetapi dia tidak
akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian
seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan
tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang
berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut
menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang
mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat
mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan
bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai
suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau
sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu,
kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang
meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya
merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode
yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri
dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan
sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam
alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka
anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi
pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut.
d. Kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan
bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara
penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan
penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada
lingkungan sosialnya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak
harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun
pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian
atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi
mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malaha ada masyarakat yang dengan
mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah
mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena
hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk
penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi
kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru
yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya
malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring
budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau
adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal
yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja.
Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu
merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung
kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan
dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan
masyarakat tersebut. Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau
penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan
melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan
hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai
elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda,
terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar